Selasa, 21 Oktober 2008

Misteri Alam Kubur  

0 komentar

Jika kita memasuki daerah pekuburan dan melayangkan pandangan pada kuburan-kuburan yang tersusun rapi, maka kita akan mendapati keheningan dan sunyi yang berkepanjangan. Tak terdengar sedikitpun suara, meski banyak yang tinggal disitu. Kuburan-kuburan yang berjejer rapat, sementara dahulu mereka tinggal berjauhan, tidak saling mengenal antara satu dengan yang lainnya. Ada anak kecil yang masih menyusui,


ada orang kaya, ada juga orang yang tak punya. Ada orang yang tua renta, dan ada pula anak muda. Namun, apakah gerangan yang terjadi pada mereka? Banyak diantara kita tidak mengetahui Misteri Alam Kubur.
Oleh karena itu, kali ini kami akan mengajak anda untuk menjelajahi alam kubur sebagaimana yang telah dikabarkan oleh rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- berdasaarkan wahyu dari Allah - Subhanahu Wa Ta’ala-, bukan dari takhayyul yang dibuat-buat oleh manusia.

Al-Barra’ bin ‘Azib-radhiyallahu ‘anhu- dia berkata, ”Kami pernah mengiringi jenazah seorang dari sahabat anshar.

Tatkala kami tiba di kuburan, ternyata penggalian lahat belum selesai. Akhirnya Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-duduk (menghadap kiblat), dan kami pun duduk di sekelilingnya. seolah-olah ada burung diatas kepala kami yang hinggap (karena dalam keadaan diam dan tenang). Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- memegang kayu yang beliau pukulkan ke tanah.(Beliau memandang ke langit lalu memandang ke tanah, lalu beliau mendongakkan kepalanya dan menundukkannya tiga kali). Kemudian beliau bersabda,

”Berlindunglah kalian kepada Allah dari siksa kubur”. Diucapkan dua atau tiga kali. (Kemudian Rasulullah bersabda,

”Ya Allah aku berlindung kepadamu dari azab kubur").tiga kali.

Kemudian bersabda, "Sesungguhnya seorang hamba yang mu’min apabila meninggal dunia dan menghadapi akhirat maka turunlah para malaikat dari langit. Wajahnya putih seakan-akan di wajah mereka itu matahari. Mereka membawa kain kafan diantara kafan-kafan surga dan hanuth (parfum) diantara parfum-parfum surga hingga mereka duduk dari tempat yamg jaraknya sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malaikat maut -Alaihis Salam- hingga duduk di sisi kepalanya lalu dia berkata, “Wahai jiwa yang baik (dalam sebuah riwayat: yang tenang) keluarlah menuju kepada ampunan Allah dan keridhoan-Nya. (Rasulullah bersabda), “Maka keluarlah ruh itu mengalir seperti tetesan air dari wadahnya, lalu malaikat itu mengambilnya. Apabila malaikat maut telah mengambilnya, maka para malaikat itu tidak membiarkannya berada di tangan malaikat maut sekejap mata pun hingga mereka mengambilnya, lalu mereka meletakkan di dalam kafan dan parfum tersebut.(Maka itulah makna firman Allah -Ta’ala-,

“Dia diwafatkan oleh malaikat-malaikat kami; dan malaikat-malaikat kami itu tidak melalaikan kewajibannya". (QS. Al An’am:61)

Semerbak bau wangi seperti misik paling wangi yang didapati di muka bumi. Lalu mereka membawanya naik. Tidaklah mereka melewatkan ruh itu di hadapan sekumpulan para malaikat melainkan para malaikat itu mengatakan, Siapakah ruh yang wangi ini? Mereka menjawab, Fulan bin Fulan -disebut dengan nama-nama terbaik yang dulu mereka menyebutnya ketika di dunia- hingga mereka sampai di langit dunia. Lalu mereka minta agar pintu dibukakan untuk ruh itu. Maka dibukakan untuk mereka. Lalu para malaikat muqarrabun dari semua sisi langit itu mengantarkannya sampai ke langit yang berikutnya hingga berakhir di langit yang ke tujuh. Maka Allah -Ta’ala- berfirman, “Tulislah untuk hamba-Ku di ‘Illiyyin.

"Tahukah kamu apakah ‘Illiyyin itu? (yaitu) Kitab yang bertulis. Yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah)". (QS. Al-Muthoffifin:19-21).

Maka ditulislah kitabnya di Illiyyin. (Kemudian Allah berfirman lagi), ”Kembalikanlah ia ke bumi. sesungguhmya Aku (berjanji kepada mereka bahwa) dari bumilah Aku menciptakan mereka dan dari sana Aku kembalikan mereka, dan dari sana pula Aku mengeluarkan mereka lagi di kali yang lain”. Maka (ia dikembalikan ke bumi, dan) dikembalikan ruhnya itu ke dalam jasadnya.(Kata beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, sesungguhnya ia mendengar suara sandal orang-orang yang mengantarnya, apabila mereka pulang meninggalkannya). Lalu ia didatangi oleh dua malaikat (yang keras hardikannya) seraya menghardiknya dan mendudukkannya. Lalu kedua malaikat itu bertanya kepadanya, ”Siapa Rabbmu?” Maka ia menjawab, ”Rabbku adalah Allah”. Keduanya bertanya lagi, ”Apa agamamu?” Dia menjawab, ”Agamaku Islam”. Lalu keduanya bertanya lagi, ”Siapakah orang yang diutus oleh Allah kepada kalian itu?" Dia menjawab, ”Beliau adalah utusan Allah”. Lalu keduanya bertanya lagi kepadanya, "Apa saja amalanmu?”Dia menjawab, ”Aku membaca Kitabullah, lalu aku beriman kepadanya, dan membenarkannya”. Lalu malaikat itu bertanya lagi, ”Siapa Rabbmu? dan apa agamamu? dan siapa nabimu?” Itulah akhir fitnah (ujian) atau pertanyaan yang diajukan kepada seorang mu’min. Maka itulah makna firman Allah -Ta’ala-,

"Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat". (QS.Ibrahim: 27)

Lalu ia menjawab, ”Rabbku adalah Allah; agamaku Islam, dan nabiku adalah Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam-“. Maka ada Penyeru (Allah) yang menyeru dari langit dengan mengatakan, ”Telah benar hamba-Ku. maka bentangkanlah permadani dari jannah (surga) dan kenakanlah untuknya dari pakaian jannah, serta bukakanlah untuknya pintu ke jannah”. Lalu sampai kepadanya hawa jannah dan bau wanginya, dan diluaskan kuburnya sejauh mata memandang. Datanglah kepadanya (di dalam sebuah riwayat: didatangkan kepadanya dalam bentuk) seorang laki-laki yang tampan wajahnya bagus pakaiannya, dan wangi baunya, lalu orang itu mengatakan, ”Berbahagialah dengan apa yang membuatmu senang, (berbahagialah dengan keridhan dari Allah -Ta’ala-dan jannah yang di dalamnya ada nikmat-nikmat yang abadi). Ini adalah hari yang dijanjikan kepada engkau”. Lalu ia mengatakan kepadanya, ”(Engkau telah diberi kabar gembira oleh Allah dengan kebaikan) Siapakah engkau ini? wajahmu menunjukkan wajah orang yang datang dengan kebaikan”. Orang itu menjawab, ”Aku adalah amalanmu yang shalih (Demi Allah tidaklah aku mengetahuimu, kecuali engkau orang yang bersegera melakukan ketaatan kepada Allah. Maka Allah membalasmu dengan yang terbaik)". Kemudian dibukakanlah untuknya pintu jannah dan pintu neraka. Lalu dikatakan kepadanya, ”Inilah tempat tinggalmu jika engkau durhaka kepada Allah. Kemudian Allah menggantikanmu dengan yang itu (jannah)”. Saat ia melihat apa yang ada di dalam jannah, ia mengatakan, ”Ya Rabbi, segerakanlah datangnya hari kiamat agar aku pulang lagi kepada keluargaku dan hartaku”. (Lalu dikatakan kepadanya:tenanglah).

Lanjut beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda , "Sesungguhnya seorang hamba yang kafir (di dalam sebuah riwayat, "yang fajir/durhaka") apabila ia meninggal dunia dan menghadapi akhirat, turunlah kepadanya para malaikat dari langit (yang keras lagi kejam) yang berwajah hitam-hitam. Mereka membawa pakaian kasar (dari neraka). lalu mereka duduk dari tempatnya sejauh mata memandang. kemudian datanglah malaikat maut hingga duduk di sisi kepalanya lalu ia berkata, ”Wahai jiwa yang jelek! Keluarlah menuju kemurkaan Allah dan kemarahannya!” Maka tercerai-berai ruh itu di dalam jasadnya, kemudian dicabut seperti dicabutnya besi berduri (banyak cabangnya) dari bulu yang basah lalu tertarik putus bersamanya urat-urat dan pembuluhnya. (Kemudian ia dilaknat oleh setiap malaikat yang ada di antara langit dan bumi dan semua malaikat yang ada di langit; ditutuplah pintu-pintu langit. Tidak ada di antara malaikat penjaga pintu itu, kecuali mereka memohon kepada Allah agar ruh itu jangan dinaikkan melalui tempat mereka). Lalu malaikat maut mangambilnya. Apabila malaikat maut telah mengambilnya, maka para malaikat itu tidak membiarkannya berada di tangannya sekejap mata pun hingga mereka mengambilnya, lalu mereka meletakkannya di dalam kafan tersebut. Maka keluarlah dari ruh itu bau busuk seperti bangkai paling busuk yang didapati di muka bumi. Kemudian mereka membawanya naik. Tidaklah mereka melewatkan ruh itu di hadapan sekumpulan para malaikat, melainkan para malaikat itu mangatakan, “Siapakah ruh yang sangat busuk ini?" Mereka menjawab, Fulan bin Fulan – disebut dengan nama-nama terburuk yang dulu mereka menyebutnya ketika di dunia– hingga mereka sampai di langit dunia. Lalu mereka minta agar pintu dibukakan untuk ruh itu. Namun tidak dibukakan untuknya. Kemudian Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- membaca ayat,

“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langitdan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. (QS. Al-A’raf:40)

Allah berfirman, ”Tulislah kitabnya di Sijjin, di bumi yang paling bawah". (Kemudian Allah berfirman lagi), ”Kembalikanlah ia ke bumi. Sesungguhmya Aku (berjanji kepada mereka bahwa) dari bumilah Aku menciptakan mereka dan dari sana Aku kembalikan mereka, dan dari sana pula Aku mengeluarkan mereka lagi di kali yang lain”. Maka dilemparkan ruh (dari langit) dengan lemparan (yang membuat ruh itu kembali ke dalam jasadnya). Kemudian Rasulullah membaca,

“Barangsiapa yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah, Maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit, lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh”. (QS. Al-Hajj: 31)

Lalu dikembalikan ruh itu ke dalam jasadnya. (Kata beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, ”Sesungguhnya ia mendengar suara sandal orang-orang yang mengantarkannya apabila mereka pulang meninggalkannya). Lalu ia didatangi oleh dua malaikat (yang keras hardikannya), lalu keduanya menghardiknya dan mendudukkannya. Kemudian kedua malaikat itu bertanya kepadanya, ”Siapa Rabbmu?" Maka ia menjawab, ”Haah…hah, saya tidak tahu”. Keduanya bertanya lagi, ”Apa agamamu?” Dia menjawab, ”Haah hah, saya tidak tahu”. Lalu keduanya bertanya lagi, ”apa komentarmu tentang orang yang diutus oleh Allah kepada kalian itu?” Dia tidak tahu namanya. Lalu dikatakan kepadanya, ”Muhammad!?" Maka ia menjawab, ”Haah…hah, saya tidak tahu (saya mendengar orang mengatakan begitu". Lalu dikatakan kepadanya, ”Engkau tidak tahu, dan tidak membaca?” Maka ada penyeru yang menyeru dari langit dengan mengatakan, ”Dia dusta. Maka bentangkanlah permadani dari neraka dan bukakanlah untuknya pintu ke neraka”. Lalu sampailah kepadanya panas neraka dan hembusan panasnya. Disempitkan kuburnya hingga bertautlah tulang rusuknya karenanya. Datanglah kepadanya (di dalam sebuah riwayat: didatangkan kepadanya dalam bentuk) seorang laki-laki yang buruk wajahnya buruk pakaiannya dan busuk baunya. Lalu orang itu mengatakan, ”Aku kabarkan kepadamu tentang sesuatu yang membuatmu menderita. Inilah hari yang dijanjikan kepadamu”. Lalu ia mengatakan kepadanya, ”(Engkau telah diberikan kabar jelek oleh Allah)". Siapakah engkau ini? Wajahmu menunjukkan wajah orang yang datang dengan kejelekan”. Orang itu menjawab, ”Aku adalah amalanmu yang buruk. (Demi Allah, tidaklah aku mengetahuimu, kecuali engkau adalah orang yang berlambat-lambat dari melakukan ketaatan kepada Allah dan bergegas kepada kemaksiatan kepada Allah. Maka Allah membalasmu dengan yang terburuk)”. Kemudian didatangkan kepadanya seorang yang buta, tuli lagi bisu dengan membawa sebuah palu besar di tangannya! Kalau saja palu itu dipukulkan kepada gunung, tentu gunung itu menjadi debu. maka orang itu memukulkan palu itu kepadanya hingga ia menjadi debu. Kemudian Allah mengembalikannya lagi seperti semula. Lalu orang itu memukulnya sekali lagi hingga ia memekik keras dengan teriakan yang bisa didengar oleh segala yang ada, kecuali manusia dan jin. Kemudian dibukakan pintu neraka untuknya dan dibentangkan permadani dari neraka). Maka ia berkata:”Ya Rabbi! janganlah Engkau datangkan hari kiamat itu!” [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (4753), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (107), Ath-Thoyalisiy dalam Al-Musnad (753), dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (12059). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (1630)]

Demikianlah perjalanan kita kali ini. Semoga bisa menjadi nasihat bagi kita sebagai calon penghuni kubur yang akan segera menyusul orang-orang yang ada dalam liang lahat. Maka persiapkanlah imanmu dan amal sholihmu dengan mempelajarilah agamamu sehingga engkau menjadi orang-orang yang selamat dari hardikan malaikat, dan himpitan kubur yang gelap. Ingatlah dunia dan umurmu singkat !!

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 55 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)


Baca Selengkapnya......

Anugrah Yang Terzholimi  

1 komentar

Agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah disempurnakan oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- sebagai rahmat bagi seluruh hamba-Nya, sehingga agama ini tidak butuh tambahan,


pengurangan dan otak-atik.

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS. Al-Ma`idah: 3)

Di antara rahmat Allah -Ta’ala- kepada hamba hamba-Nya, disyari’atkannya “poligami” (seorang laki laki memiliki lebih dari satu istri) berdasarkan dalil-dalil yang akan datang.

Namun berbicara masalah poligami akan mengundang berbagai tanggapan. Ada yang menanggapinya secara posotif dan ini datangnya dari ulama’ dan kaum beriman.
Tetapi, ada pula yang menanggapinya secara negatif, bahkan menentangnya dengan keras di antara segelintir orang dari kalangan orang-orang munafiq, dan orang-orang yang jahil dari kaum wanita dan laki-laki. Berbagai alasan dilontarkan intuk menolak poligami, entah dengan alasan kecemburuan, emosi, atau tidak siap dimadu, bahkan dengan alasan ketidakadilan.

Mungkin dengan dasar inilah, ada seorang penulis wanita (kami tidak sebutkan namanya) berusaha menentang, dan menzholimi “anugerah poligami” ini untuk membela kaum wanita -menurut sangkaannya-, padahal sebenarnya ia menzholimi kaum wanita. Maka dia pun menuangkan “pembelaannya” (baca: penzholimannya) tersebut dalam bentuk tulisan yang dimuat oleh koran “Kompas”, edisi 11 Desember 2006, dengan judul, “Wabah itu Bernama Poligami”. Sebuah judul yang memukau bagi orang-orang jahil, terlebih lagi orang-orang munafiq. Namun hal itu sangat berbahaya bagi keimanannya, dan mengerikan bagi kaum beriman. Betapa tidak, dia telah berani menyebut poligami sebagai “wabah”, dan telah lancang berani menyebut syari’at yang Allah -Ta’ala- sendiri yang menurunkan-Nya sebagai “wabah”. Dia telah menghina, menentang dan mengingkari anugerah yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Kalau wanita ini menganggap poligami adalah wabah, berarti dia telah menganggap bahwa Allah -Ta’ala- telah menurunkan wabah kepada para hamba-Nya,“Subhanallah wa -Ta’ala- ‘an qaulihim uluwwan kabiran !!!” Maha Suci, dan Maha Tinggi Allah atas apa yang mereka ucapkan.

Wanita untuk memuntahkan kebenciannya, dan penolakannya kepada syari’at poligami, maka ia pun tidak tanggung-tanggung membawakan hadits untuk menguatkan pendapatnya. Padahal hadits itu tidaklah menguatkan dirinya sedikitpun, bahkan menolak dengan kejahilannya: Wanita itu membawakan hadits, bahwa dilaporkan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- marah ketika beliau mendengar putrinya Fatimah akan di poligami suaminya, Ali bin Abi Thalib. Beliau bergegas menuju mesjid, naik mimbar dan menyampaikan pidato, “Keluarga Bani Hasim bin Al-Mughiroh telah meminta izinku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali Bin Abi Thalib saya tidak mengizinkan sama sekali kecuali Ali menceraikan putri Saya terlebih dahulu”. Kemudian Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melanjutkan, “Fatimah adalah bagian dari-ku. Apa yang memggamggu dia adalah menggangguku dan apa yang menyakiti dia adalah menyakitiku juga”. Akhirnya, Ali bin Abi Thalib tetap monogami hingga Fatimah wafat.

Setelah membaca hadits diatas, mungkin kita akan menganggukkan kepala dan membenarkan wanita tersebut. Namun Saking “pandainya” wanita ini, ia lupa riwayat lain dalam Shohih Muslim (2449), “Sesungguhnya aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram. Tapi, demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan putri musuh Allah selamanya”. Artinya, Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidak mengharamkan atas umatnya sesuatu yang halal, yaitu poligami. Selain itu, Syaikh Al-Adawiy dalam Fiqh Ta’addud Az-Zaujat (126) berkata, “Di antara kekhususan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, putrinya tidak boleh dimadu. Ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari (9/329)”.

Perlu diketahui bahwa para sahabat sepeninggal Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bahkan Ali sendiri berpoligami setelah Fathimah wafat. Ali bin Rabi’ah berkata, “Dulu Ali memiliki dua istri”. [HR. Ahmad dalam Fadho’il Ash-Shohabah (no.889)]. Ini menunjukkan bahwa poligami tetap diamalkan oleh para sahabat sepeninggal Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bukan bersifat kondisional !!

Lebih jauh lagi, Wanita itu mengomentari ayat berikut,

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa`: 3)

Wanita ini berkata, “Ayat tersebut turun setelah perang Uhud, dimana banyak sahabat wafat di medan perang. Ayat ini memungkinkan lelaki muslim mengawini janda, atau anak yatim, jika dia yakin inilah cara melindungi kepentingan mereka, dan hartanya dengan penuh keadilan. Jadi, ayat ini bersifat kondisional”.

Yang menjadi pembahasan kita dalam perkataannya adalah bahwa ayat ini bersifat kondisional, padahal seandainya ayat ini bersifat kondisional, justru ayat ini sangat memungkinkan untuk diamalkan pada zaman sekarang, karena melihat perbandingan jumlah wanita jauh lebih banyak dibandingkan jumlah laki-laki. Oleh karena itu, poligami di saat sekarang ini mestinya lebih disemarakkan! Selain itu, para ulama membuat kaedah, “Barometer dalam menafsirkan ayat dilihat pada keumuman lafazhnya, bukan pada kekhususan sebab turunnya ayat tertentu”. Jadi, dilihat cakupan dan keumuman ayat di atas dan lainnya, maka mencakup semua lelaki yang memiliki kemampuan lahiriah.

Kemudian, dia pun mengomentari firman Allah berikut -layaknya sebagai ahli tafsir, padahal ia bukan termasuk darinya-,

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An-Nisa`: 129)

Wanita ini berkata dengan congkak, “Ayat ini dapat disimpulkan, Islam pada dasarnya agama monogami”. Pembaca -semoga dirahmati Allah- beginilah apabila menafsirkan ayat dengan penafsiran sendiri, tanpa mau melihat bagaimana para ulama tafsir ketika menafsirkan ayat-ayat Allah. Ayat ini justru menunjukan disyari’atkannya poligami. Dengarkan para ahli tafsir ketika mereka menafsirkan ayat di atas (QS. An-Nisa`: 129)

Ath-Thabariy -rahimahullah- berkata, “Kalian, wahai kaum lelaki, tak akan mampu menyamakan istri-istrimu dalam hal cinta di dalam hatimu sampai kalian berbuat adil di antara mereka dalam hal itu. Maka tidak di hati kalian rasa cinta kepada sebagiannya, kecuali ada sesuatu yang sama dengan madunya, karena hal itu kalian tidak mampu melakukannya, dan urusannya bukan kepada kalian”. [Lihat Jami’ Al-Bayan (9/284)]

Syaikh Muhammad bin Nashir As-Sa’diy-rahimahullah- dalam menafsirkan ayat di atas (QS. An-Nisa`: 129), “Allah -Ta’ala- mengabarkan bahwa suami tidak akan mampu. Bukanlah kesanggupan mereka berbuat adil secara sempurna di antara para istri, sebab keadilan mengharuskan adanya kecintaan, motivasi, dan kecenderungan yang sama dalam hati kepada para istri, kemudian demikian pula melakukan konsekuensi hal tersebut. Ini adalah perkara yang susah dan tidak mungkin. Oleh karena itu, Allah -Ta’ala- memaafkan perkara yang tidak sangup untuk dilakukan. Kemudian, Allah -Ta’ala- melarang sesuatu yang mungkin terjadi (yaitu, terlalu condong kepada istri yang lain, tanpa menunaikan hak-hak mereka yang wajib-pent),

“Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung”. (QS. An-Nisa`: 129)Maksudnya, janganlah engkau terlalu condong (kepada istri yang lain) sehingga engkau tidak menunaikan hak-haknya yang wajib, bahkan kerjakanlah sesuatu yang berada pada batas kemampauan kalian berupa keadilan. Maka memberi nafkah, pakaian, pembagian dan semisalnya, wajib bagi kalian untuk berbuat adil di antara istri-istri dalam hal tersebut, lain halnya dengan masalah kecintaan, jimak (bersetubuh), dan semisalnya, karena seorang istri, apabila suaminya meninggalkan sesuatu yang wajib (diberikan) kepada sang istri, maka jadilah sang istri dalam kondisi terkatung-katung bagaikan wanita yang tidak memiliki suami, lantaran itu sang istri bisa luwes dan bersiap untuk menikah lagi serta tidak lagi memiliki suami yang menunaikan hak-haknya”. [Lihat Taisir Al-KarimAr-Rahman (hal. 207)]

Lebih gamblang, seorang mufassir ulung, Syaikh Asy-Syinqithiy -rahimahullah- berkata dalam Adhwa’ Al-Bayan (1/375) ketika menafsirkan ayat di atas, “Keadilan ini yang disebutkan oleh Allah disini bahwa ia tak mampu dilakukan adalah keadilan dalan cinta, dan kecenderungan secara tabi’at, karena hal itu bukan di bawah kemampaun manusia. Lain halnya dengan keadilan dalam hak-hak yang syar’iy, maka sesuangguhnya itu mampu dilakukan”.

Jadi, dari komentar para ahli tafsir tadi, tidak ada di antara mereka yang berdalil dengan ayat itu untuk menolak poligami. Lantas kenapa wanita ini tak mau menoleh ucapan para ulama’ tafsir? Jawabnya, karena tafsiran mereka tidak unduk kepada hawa nafsu wanita ini.

Adapun dalil dalil yang menunjukan disyariatkannya poligami antara lain, maka telah berlalu dalam (QS. An-Nisa`: 3).

Di antara dalil poligami, Seorang tabi’in, Sa’id bin Jubair, “Ibnu Abbbas berkata kepadaku: “Apakah engkau telah menikah ?” Aku menjawab “ Belum”. Ibnu Abbas berkata, “Maka menikahlah, karena sebaik baik manusia pada umat ini adalah orang yang paling banyak istrinya”. [HR. Al-Bukhariydalam Shohih-nya).

Satu lagi dalil poligami -namun sebenarnya masih banyak-, Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Termasuk sunnah jika seorang laki laki menikahi perawan setellah istri sebelumnya janda maka sang suami pun tinggal di rumahistri yang perawan ini selama tujuh hari maka sang suami tinggal dirumah istri yang janda selama tiga hari kemudian dia bagi”. [HR Bukhariy dalam Ash-Shohih]

Seorang ulama’ Syafi’iyyah, Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- dalam Fatul Bari (9/10) berkata, “Dalam hadits ini, ada anjuran untuk menikah dan meninggalkan hidup membujang”.

Setelah kita mengetahui dalil-dalil yang menunjukan disyari’atkannya seorang muslim, laki-laki maupun wanita melakukan poligami. Jadi, kami nasihatkan kepada diri kami dan para suami dan calon suami untuk menikah hingga empat orang istri, jika dia sanggup untuk berbuat adil dalam perkara lahirah, seperti, pembagian malam, dan nafkah. Adapun adil dalam perkara batin (seperti, cinta, kesenangan jimak, perasaan bahagia bersama dengan salah satu diantara mereka), maka ini bukan merupakan syarat berdasarkan hadits-hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama.

Terakhir, Kami nasihatkan kepada para wanita agar bersiap untuk dimadu dan berlapang dada untuk menerima anugerah poligami ini, serta tidak menentang syari’at poligami, karena ini adalah kekufuran. Samahatusy Syaikh Abdul Azizi bin Baz-rahimahullah- berkata, “Barangsiapa yang membenci sedikitpun darisesuatu yang dibawa Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, meskipun dia mengamalkannya, maka sungguh dia telah kafir. Allah -Ta’ala- berfirman,“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yangditurunkan Allah (Al Qur’an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka”. (QS. Muhammad: 9)[Lihat Nawaqid Al-Islam]

Macam-macam Wanita

Di dunia ini wanita ini bermacam-macam jenisnya. Ada yang seperti kantong plastik, setelah dimamfaatkan dibuang. Ada juga yang sama sekali tidak ada mamfaatnya, bahkan merusak yang lain. Namun yang terbaik adalah wanita yang banyak memberi mamfaat bagi dirinya, dan orang lain, terutama suami. Dia membantu diri dan suaminya di atas ketaatan. Konon kabarnya nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

"Wanita-wanita itu ada tiga macam: kelompok wanita seperti bejana, ia hamil dan melahirkan; kelompok wanita seperti koreng – yaitu kudis- ; kelompok wanita yang amat penyayang, dan banyak melahirkan, serta membantu suaminya di atas keimanannya. Wanita ini lebih baik bagi suaminya dibandingkan harta simpanan". [HR.Tamam Ar-Raziy dalam Al-Fawa’id (206/2)].

Namun sayangnya hadits ini adalah hadits dho’if mungkar, karena ada seorang rawi yang bernama Abdullah bin Dinar. Dia adalah seorang rawi yang mungkar haditsnya sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu abi Hatim dalam Al-Ilal (2/310). Jadi, hadits ini tidak boleh dianggap sebagai sabda nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . karenanya, Syaikh Al-Albaniy memasukkan hadits ini dalam silsilah hadits dhoi’f dalam Adh-Dho’ifah (714).

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 44 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

Baca Selengkapnya......
IP